[Bagian 4] Menyehatkan Relasi Antara Negara Dan Rakyat Melalui Perubahan UU Perpajakan : Suatu Analisis Terhadap Urgensi Rekonstruksi Pasal 2 Ayat (4) Dan Pasal 2 Ayat (4a) UU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

freepik
MENELISIK IMPLIKASI SANKSI DAN BEBAN PERPAJAKAN DALAM PELAKSANAAN PASAL 2 AYAT (4) DAN AYAT (4a) : URGENSI REVISI/PENINJAU KEMBALI PASAL 4 AYAT (4) DAN AYAT (4a)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fungsi PKP adalah untuk melaksanakan HAK dan KEWAJIBAN di bidang PPN dan PPnBM. Karena PPN merupakan pajak atas PERTAMBAHAN NILAI (value added), maka salah satu hak dari PKP adalah pengkreditan pajak masukan. Bahkan, untuk memberikan kemudahan (simplicity/ease of administration) dalam penghitungan PPN, serta memberikan untuk kepastian hukum bahwa PPN dikenakan sebatas nilai tambah, maka negara juga menerapkan 2nd best policy melalui penerapan presemptive tax (lihat Rosdiana dan Irianto, 2012) – dengan format/bentuk kebijakan Nilai Lain [1], maupun dalam bentuk kebijakan/regulasi pedoman pengkreditan pajak masukan [2].
Ketidaksetaraan pelaksanaan Hak dan Kewajiban terjadi karena dalam Pasal 2 ayat (4a) hanya ada penggunaan kata Kewajiban sebagaimana dapat dilihat bunyi Pasal 2 ayat (4a) berikut ini:

“Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.”

Implikasi dari Pasal ini adalah dalam pelaksanaannya, pengusaha tidak mendapatkan hak untuk dikenakan pajak (menyetorkan) PPN sebatas pertambahan nilainya, bahkan sanksi yang dikenakan terhadap pengusaha tersebut melebihi sanksi yang dikenakan terhadap pidana perpajakan. Hal ini terjadi karena menegaskan hak pengusaha, menyebabkan fiskus menagih PPN sebesar Pajak Keluaran yang tidak dipungut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (lihat Pasal 13 ayat (2) UU KUP).
Deskripsi umum dari penghitungan besarnya sanksi yang dikenakan terhadap pengusaha tersebut dapat dilihat dalam Tabel berikut ini:
Artikel1
Kedua tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat adanya ketidakadilan akibat dari Pasal 2 ayat (2a) yang hanya menekankan pada aspek kewajiban dan mengabaikan pelaksanaan hak dari pengusaha. Seharusnya, sebagaimana amanah dalam pasal 28D UUD NKRI 1945 tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka jika negara memberlakukan kewajiban PKP secara retroactive, maka pada saat yang bersamaan pemenuhan hak PKP juga harus dilakukan secara retroactive.
Asimetris atau ketidaksetaraan antara hak dan kewajiban dalam rumusan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4a) akan menimbulkan diskriminasi serta pembebanan costs of taxation (lihat Rosdiana dan Irianto, 2012) yang tinggi – baik material maupun immaterial (time costs dan psychological costs) terhadap pengusaha yang diberlakukan Pasal Pasal ini. Semakin kecil value added yang sesungguhnya, maka semakin besar diskriminasi dan costs of taxation yang diderita oleh pengusaha tersebut, sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel berikut:
artikel2
Selain itu, di sisi lainnya, perlakuan retroactive secara asimetris, yaitu hanya menekankan/ memperhitungkan pada kewajiban pengusaha untuk  untuk memungut PPN meski fakta hukum pada saat itu pengusaha tersebut belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak menjadi kontradiktif dengan ketentuan Pidana Perpajakan sesuai Pasal 39A huruf b.
Pada akhirnya, pengusaha yang dikukuhkan PKP secara jabatan harus menanggung beban pajak yang bertubi tubi karena PKP juga merupakan Wajib Pajak yang sudah dikenakan Pajak Penghasilan. Beban pajak bertambah besar karena esensi dan fakta hukumnya pengusaha tersebut tidak pernah memungut PPN kepada pembelinya. Dalam kasus yang menimpa bapak Edi Pramono, yang bersangkutan bahkan seharusnya tidak boleh diterbitkan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf e, karena yang bersangkutan segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP setelah adanya himbauan dari KPP setempat.
Costs of taxation atas kasus di atas sangat besar bahkan melampaui PPh yang memang merupakan pajak langsung yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena PPh kenakan atas tambahan kemampuan ekonomis (net income) sementara PPN dikenakan terhadap ybs didasarkan pada jumlah bruto omzet, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
artikel3
BOKS 3 . MENGAPA ASAS RETROACTIVE SEBAIKNYA HANYA DIBERLAKUKAN DALAM PAJAK PENGHASILAN ?

Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis. Dengan demikian yang menjadi dasar penghitungan PPh yang terhutang adalah nett income. UU PPh tidak menegasikan hak atas tax reliefs jika Wajib Pajak diperiksa. Dengan demikian, Pasal 6 (deductible expenses maupun deduction), Pasal 7 (personal allowances untuk WP PPh OP), Pasal 28 (tax credit) maupun tax reliefs lainnya tetap berlaku, sehingga Wajib Pajak yang diterbitkan SKPKB berdasarkan NPWP secara jabatan tetap akan dihitung berdasarkan dasar pengenaan PPh, yaitu penghasilan netto.
Dengan demikian, dalam pelaksanaan asas retroactive, kesetaraan antara HAK dan KEWAJIBAN perpajakan bagi Wajib Pajak akan tetap terpenuhi, sehingga keadilan tetap dapat ditegakkan.

BOKS 4 . MENGAPA ASAS RETROACTIVE ATAS KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI SEBAIKNYA DITANGGUHKAN/TIDAK DIBERLAKUKAN ?

Berbeda dengan PPh, ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN menyebabkan pengusaha tidak bisa menggunakan HAKnya untuk mengkreditkan Pajak Masukan (PM) dalam kasus asas retroactive. Karena itu, asas retroactive justru akan menyebabkan cost of taxation yang sangat tinggi, bahkan melebihi sanksi dalam kompromi fiskal Pasal 8 ayat (3) maupun sanksi (minimum) pidana perpajakan, Karena:

  1. PPN terhutang bukan dihitung dari nilai tambah;
  2. dikenakan sanksi berupa bunga Pasal 13 ayat (2)
  3. menegasian hak pengkreditan,
  4. Mekanisme penghitungan PPN menjadi mirip Pajak Penjualan (PPn) yang merupakan pajak atas transaksi/penjualan.
  5. Pengusaha dikenakan Surat tagihan Pajak (STP) Karena tidak membuat Faktur Pajak dengan sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (mis. Harga Jual)

PENUTUP


[1]  Misalnya dalam rejim UU PPN tahun 2000,  Pasal 4 “Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 642/KMK.04/1994 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak” mengatur bahwa :
Pasal 4
(1)
Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam melaksanakan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung pajaknya dapat menggunakan Nilai Lain sebagai DasarPengenaan Pajak yang caranya sebagai berikut :
  1. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah sebesar 10% x Harga Jual Barang Kena Pajak;
  2. Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah sebesar 10% x 20% x jumlah seluruh penyerahan barang dagangan.
(2)Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang dalam suatu tahun buku tidak memilih menggunakan Dasar Pengenaan Pajak dengan NIlai Lain wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
[2] Hingga kini, 2nd best theory dengan format deemed VAT input (pedoman pengkreditan pajak masukan) masih diterapkan. Peraturan yang masih berlaku adalah “Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010  Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu”. Dalam Pasal 7 PMK tersebut diatur bahwa:

Pasal 7

Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan  pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu sebesar :

  1. 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
  2. 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak.
Categories: Arsip

Artikel Terkait